Judul Cerpen: Lulus?
By Lestari Titis Reka
By Lestari Titis Reka
**********
Ujian
Nasional telah berlalu. Namun, Sinta masih kalut dengan keraguannya. Setiap
bangun hingga akan tidur, Sinta tak pernah berhenti untuk berharap supaya lulus
dengan nilai sempurna. Keraguan akan pikiran-pikiran negative semakin menjadi
tatkala pengumuman kelulusan tingkat SMA telah tiba.
Hari
ini, Sinta bersiap-siap datang ke Sekolah. Walaupun perasaannya masih takut
jika Ia tak lulus. Namun, setelah mendapat semangat dari orang tuanya, terutama
ibunya, akhirnya Sinta memutuskan untuk ke Sekolah.
Selama di Perjalanan, Ia tak henti-henti memikirkan bagaimana jika Ia tidak lulus? Apa yang harus dikatakan pada orang tuanya? Bagaimana perasaan beliau? Bagaimana jika orang tuanya dan dirinya mendapat caci maki dari para tetangga? Apa yang akan dilakukannya? Dan pikiran-pikiran negative lainnya.
Sinta
terlalu larut dalam pikirannya. Ketika tersadar, Ia terkejut karna telah sampai
di Sekolah. Sinta menoleh begitu namanya dipanggil seseorang.
“Rani…”
Guman Sinta pada diri sendiri.
Rani
adalah sahabat Sinta semenjak SMP. Rani sangat menyayangi Sinta begitupun
sebaliknya. Setiap ada masalah, mereka tak segan-segan untuk saling sharing.
Seperti saat ini, semua kegundahan dalam hati Sinta, ia tumpahkan semua pada
Rani.
“Tenang
saja, semua pasti lulus dengan nilai yang memuaskan” Ucap Rani setelah
mendengar keluh kesah Sinta. Ia tersenyum hangat untuk menyemangati Sahabatnya.
“Sebaiknya kita ke kelas. Ayo!” Lanjutnya seraya menarik tangan Sinta.
Sekali
lagi, Sinta meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja dan semua akan terwujud
dengan apa yang diingikannya. Sinta jadi ingat sesuatu. Kemarin, ketika pengumuman
kelulusan tingkat SMP. Dirinya… pernah tak tidur semalaman karna memikirkan
hal-hal yang membuatnya tak bisa tertidur. Bukan hal yang membuatnya behagia,
malahan sebaliknya. Sinta merasakannya, menunggu pengumuman kelulusan adalah sesuatu
hal yang sedikit demi sedikit dapat membunuh para pelajar.
Sinta
terseyum dalam batinnya. Kenangan sekilas akan masa lalu sedikit membuat
bebannya berkurang. Sekali lagi… hanya sedikit! Perasaan itu masih ada.
Tersimpan rapi dalam batinnya dan membuatnya seperti orang bodoh. Rani yang menyadari
raut Sinta berucap meyakinkan.
“Tenang
saja.. Semua pasti lulus. Toh,
bukankah kita sudah berusaha.. Jadi, anggap saja kita sedang naik roller
coaster.. hahaha..” Rani tertawa geli
begitu mendapati kalau Sinta tengah menatapnya kesal.
“Masih
sempat aja bercanda..” Gerutu Sinta dan tentu saja membuat Rani semakin
terbahak. Sinta dengan kesal melempar tas punggungnya di meja. Dengan raut yang
menahan tawa Rani menepuk pelan bahu Sinta.
“Oke..
Sorry karna telah membuatmu semakin Badmood..”
“Tch..
tidak tulus..” Cibir Sinta seraya melirik sinis sahabatnya, kemudian duduk
dengan perasaan kesal. Rani masih berdiri disamping meja Santi. Sekuat tenaga
Rani menahan tawa, ketika Sinta memalingkan wajahnya.
“Huft..
Harus sabar menghadapi makhluk yang sedang bulannya…” Ucap Rani sedikit keras
dan dengan nada menyindir—membuat Sinta langsung menatapnya tajam.
“Yaaa…”
Kemudian
terjadi adegan cak cek dan cok antara ke dua sahabat itu. Sejenak, mereka
menikmati hari terakhir bercanda di sekolah. Entah apa yang akan terjadi esok,
ketika tak ada tawa dan duka yang telah terlewati selama tiga tahun belakangan
ini. Huh… mungkin harus mengikuti arah takdir.
1
jam telah berlalu. Namun, kedua sahabat itu masih asik bersenda gurau. Mereka tersenyum
bahagia, seolah tak menyimpan beban. Diam-diam Rani mengamati perubahan Sinta.
Ia tersenyum lega, setidaknya Sinta dapat melupakan kegundahan hatinya,
walaupun hanya sejenak.
Sama
halnya dengan Sinta, sejujurnya Rani sangat gugup menanti pengumuman kelulusan
beberapa jam lagi. Tapi, semua Ia serahkan kepada-Nya. Apapun itu.. setidaknya
Rani dan Sinta serta teman-teman kelas tiga lainnya telah berusaha.
“Rani!”
Sinta dan si empunya nama menoleh. Dilihatnya Anton tengah berjalan mendekati
bangku mereka berdua.
“Ada
apa?” Tanya Rani penasaran di sambut anggukan dari Sinta.
“Biasa…
Kamu gak mau ikut?” Tanya Anton seraya menunjuk Rani.
“Kemana?”
kening Rani mengerut.
“Ada
apa sih?” Sinta ikut dalam percakapan mereka.
“Bukan..
Tapi.. Oh ayolah.. Kamu tidak lupa kan..” Sungut Anton kesal pada Rani. Rani
memutar kedua bola matanya. Telunjuknya, ia ketuk-ketukan di dahinya. Setelah
beberapa detik, Rani menjentikan jarinya.
“Yup..
Aku ingat sekarang..Sinta, jaga kelas baik-baik yah? Bye bye..”
“Tunggu
sebentar… hehehe..” Tambah Anton kemudian menyusul Rani yang berjalan terlebih
dahulu.
“Ada
apa dengan mereka?” Kesal Sinta karna ditinggal sendirian di kelas ini. Kelas?
Anyway, kenapa kelas begitu sepi? Entah karena apa, bulu kuduk Sinta berdiri. Sinta
begidik ngeri, membayangkan hal-hal yang errr.. seperti di film-film horror
yang pernah ia tonton. Ia menggeleng pelan. Hal seperti itu tak mungkin
terjadi.
Sekilas,
Sinta melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. “Satu jam lagi
pengumuman..huh”
kedua
matanya ia edarkan ke penjuru kelas. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
Bagaimana keadaan kelas ini, jika Ia dan teman-teman yang lain telah pergi. Maksudnya..
pergi untuk mencari sebuah jati diri. Menentukan sebuah tujuan untuk masa depan
yang lebih baik.
Sinta
sendiri bercita-cita ingin menjadi seorang PhotoGrapher. Menurutnya, menjadi
juru foto itu pekerjaan yang keren. Ia dapat mengetahui arti dari ekspresi
seseorang atau bahkan mengetahui nilai ekstetika dari sebuah lukisan yang ada
di alam.
Sebelumnya,
Sinta telah menyusun rencana. Setelah lulus, ia akan melanjutkan ke Universitas
Negeri Malang dan mengambil jurusan pemotretan. Ngomong-ngomong soal
pemotretan. Sinta sangat ingin memotret idolanya. Idola? Tentu saja, Sinta sama
seperti remaja lainnya. Mempunyai idola dan menjadikan idola tersebut sebagai
motivasinya untuk belajar.
Semua
telah terangkum sempurna. Dan apapun hasilnya…nanti, semoga tidak membuatnya
semakin menambah beban dipikirannya.
“Hey!”
Sinta terlonjat kaget mendengar suara yang tak asing lagi dipendengarannya.
“Lagi lamunin apa sih?” Tanya Rani penasaran, kemudian duduk di sebelah Sinta.
Sinta
menggeleng pelan, “Eh? Emang ada apa sih.. tadi?”
“RA
to the HA to the SI to the A. RAHASIA.. hahaha” Rani kembali terbahak melihat
raut wajah kesal sahabatnya.
“Temen
macam apa kamu itu?” Rungut Sinta seperti anak TK.
“Oke..
nanti aku beritahu.. eh, tapi.. sekarang temen-temen lagi ngumpul di Aula..”
“Pengumuman?”
Tanya Sinta takut-takut. Rani mengangguk pasti, “Ayo,,,”
*****
Sinta
berdiri kaku tak jauh dari kerumunan siswa lainnya. Mereka sedang berebut,
melihat sebuah kertas yang tertempel di madding sekolah. Termasuk Rani. Dalam
kertas itu, Sinta yakin se yakinnya jika itu adalah pengumuman kelulusan.
Dengan
teliti, Sinta mengawasi gerak-gerik teman-temannya. Sejauh ini, Sinta tak
menemukan raut kesedihan. Namun, sebaliknya. Mereka tengah berpelukan, membagi
kebahagiaan. Sorak sorak kelegaan tersirat di setiap tawa dan mata mereka.
Walaupun ada yang menangis, tapi menangis karna terlalu bahagia. Melihatnya,
Sinta ingin kesana. Namun…
Sinta
melirik sahabatnya yang tengah tersenyum bahagia di sertai loncat-loncat
kegirangan. Tak sengaja, tatapan mereka bertemu. Mendadak, suasana yang ramai
menjadi sunyi senyap.
Sinta
menatap bingung teman-temannya. Mereka sedang menatap satu sama lain kemudian
menatap lirih Sinta.
Sinta
menelan salivanya bulat-bulat. Kembali, Ia menatap sahabatnya penuh tanya.
Namun, Rani hanya menunduk dalam. Tubuh Sinta bergetar. Benaknya bertanya-tanya
apa maksud dari tatapan mereka? Jangan bilang…
TIDAK!
Ini tidak mungkin. Sinta menggeleng pelan. Entah kenapa ia ingin menangis saat
ini. Tapi, sekuat tenaga ia menahannya..
“Sinta..
Kamu baik?” Tanya Rina yang entah kenapa sudah berada di samping Sinta.
“Ran…
Apa maksud dari tatapan mereka dan kamu juga, kenapa kalian menatapku seperti
itu.. jangan bilang kalau aku…” Kalimatnya menggantung seiring keluarnya
butir-butir cairan bening dari pelupuk matanya. Rani memeluk sahabatnya erat,
berusaha menyalurkan sebuah kekuatan.
“Yang
terpenting kamu sudah berusaha dengan keras..” bisik Rani pada Sinta. Tangannya
mengelus punggung Sinta pelan.
“Tidak…
ini tidak mungkin.. ya kan? Ini bohong kan? Aku tidak mungkin..” Racau Sinta
tak percaya.
“Tenanglah..”
Sinta semakin keras menangis. Tak memperdulikan dimana ia berada, yang jelas…
perasaannya telah pecah berkeping-keping dan yang dibutuhkan saat ini adalah
menangis. Walaupun Sinta tak melihat sendiri pengumuman tersebut. Tapi, tatapan
dari teman-temannya seolah meyakinnya jika…dirinya.. tidak..
“Apa
kamu gak mau melihat kertas itu?” Tanya Rani hati-hati, takut menyinggung
perasaan sahabatnya itu.
Sinta
menggeleng tegas, “Aku tidak mau lihat…” Ia berucap disela-sela isakkannya.
“Setidaknya..
kamu harus melihat..” Sekali lagi, Rani membujuk Sinta.
“Ayolah..
Hanya melihat dan aku akan menemanimu…” Rani tersenyum hangat setelah
melepaskan pelukan sahabatnya.
*****
Kedua
matanya menutup rapat. Seolah enggan untuk membuka. Tubuhnya bergetar. Sisa air
matanya masih nampak jelas di kedua pipinya. Sinta meremas kuat tangan
sahabatnya.
“Sekarang
buka matamu..” Ucap Rani pelan yang langsung dijawab gelengan dari Sinta. Setelah
berkali-kali membujuk, akhirnya Sinta mau menuruti kemauan Rani. Dalam hitungan
ke-tiga, perlahan-lahan Sinta membuka kedua matanya.
Ia
mengerjabkan matanya beberapa kali. Setelah penglihatannya tak begitu buram, ia
mengikuti arah tunjuk Rani pada sebuah kertas dan….
“Selamat
kamu lulus dengan nilai terbaik…”
Sinta
terbengong tidak percaya. Kedua matanya masih lekat menatap kertas yang ada
dihadapannya. Mencoba untuk menemukan kebenaran. Dan pernyataan Rani barusan..
adalah… benar. Jadi… Sinta Lulus? Dengan nilai terbaik?
“RANI!!!”
“Hahahahaha…”
Teman-temannya tertawa terbahak melihat raut kesal Sinta saat meneriaki nama
Rani. Sedangkan Rani? Ia telah berlari terbirit-birit, menghindari singa yang
mengamuk.
******
Sinta
tersenyum dalam lariannya—mengejar Rani. Walaupun Ia kesal, sangat kesal karna
telah menjadi korban kejailan sahabatnya. Tapi, Ia tak menyangkal bahwa ia
sangat bahagia sekarang. Memang. Rani
sangat jail di sekolah. Rani seorang perempuan, tapi kepribadiannya seperti
laki-laki. Sangat jail.
Namun,
berkat sahabatnya itu, Sinta menyadari suatu hal. Mungkin benar apa kata orang,
jangan mudah percaya pada seseorang walaupun itu orang terdekat, tanpa melihat
secara langsung. Dan Sinta sangat berterimakasih dengan itu.
Terimakasih
sobat :)
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar