Jumat, 27 Februari 2015

Contoh Cerpen "Lulus?"



Judul Cerpen: Lulus?
 By Lestari Titis Reka
**********
Ujian Nasional telah berlalu. Namun, Sinta masih kalut dengan keraguannya. Setiap bangun hingga akan tidur, Sinta tak pernah berhenti untuk berharap supaya lulus dengan nilai sempurna. Keraguan akan pikiran-pikiran negative semakin menjadi tatkala pengumuman kelulusan tingkat SMA telah tiba.
Hari ini, Sinta bersiap-siap datang ke Sekolah. Walaupun perasaannya masih takut jika Ia tak lulus. Namun, setelah mendapat semangat dari orang tuanya, terutama ibunya, akhirnya Sinta memutuskan untuk ke Sekolah.


Selama di Perjalanan, Ia tak henti-henti memikirkan bagaimana jika Ia tidak lulus? Apa yang harus dikatakan pada orang tuanya? Bagaimana perasaan beliau? Bagaimana jika orang tuanya dan dirinya mendapat caci maki dari para tetangga? Apa yang akan dilakukannya? Dan pikiran-pikiran negative lainnya.
Sinta terlalu larut dalam pikirannya. Ketika tersadar, Ia terkejut karna telah sampai di Sekolah. Sinta menoleh begitu namanya dipanggil seseorang.
“Rani…” Guman Sinta pada diri sendiri.
Rani adalah sahabat Sinta semenjak SMP. Rani sangat menyayangi Sinta begitupun sebaliknya. Setiap ada masalah, mereka tak segan-segan untuk saling sharing. Seperti saat ini, semua kegundahan dalam hati Sinta, ia tumpahkan semua pada Rani.
“Tenang saja, semua pasti lulus dengan nilai yang memuaskan” Ucap Rani setelah mendengar keluh kesah Sinta. Ia tersenyum hangat untuk menyemangati Sahabatnya. “Sebaiknya kita ke kelas. Ayo!” Lanjutnya seraya menarik tangan Sinta.
Sekali lagi, Sinta meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja dan semua akan terwujud dengan apa yang diingikannya. Sinta jadi ingat sesuatu. Kemarin, ketika pengumuman kelulusan tingkat SMP. Dirinya… pernah tak tidur semalaman karna memikirkan hal-hal yang membuatnya tak bisa tertidur. Bukan hal yang membuatnya behagia, malahan sebaliknya. Sinta merasakannya, menunggu pengumuman kelulusan adalah sesuatu hal yang sedikit demi sedikit dapat membunuh para pelajar.

Sinta terseyum dalam batinnya. Kenangan sekilas akan masa lalu sedikit membuat bebannya berkurang. Sekali lagi… hanya sedikit! Perasaan itu masih ada. Tersimpan rapi dalam batinnya dan membuatnya seperti orang bodoh. Rani yang menyadari raut Sinta berucap meyakinkan.
“Tenang saja.. Semua pasti lulus. Toh, bukankah kita sudah berusaha.. Jadi, anggap saja kita sedang naik roller coaster.. hahaha..”  Rani tertawa geli begitu mendapati kalau Sinta tengah menatapnya kesal.
“Masih sempat aja bercanda..” Gerutu Sinta dan tentu saja membuat Rani semakin terbahak. Sinta dengan kesal melempar tas punggungnya di meja. Dengan raut yang menahan tawa Rani menepuk pelan bahu Sinta.
“Oke.. Sorry karna telah membuatmu semakin Badmood..”
“Tch.. tidak tulus..” Cibir Sinta seraya melirik sinis sahabatnya, kemudian duduk dengan perasaan kesal. Rani masih berdiri disamping meja Santi. Sekuat tenaga Rani menahan tawa, ketika Sinta memalingkan wajahnya.
“Huft.. Harus sabar menghadapi makhluk yang sedang bulannya…” Ucap Rani sedikit keras dan dengan nada menyindir—membuat Sinta langsung menatapnya tajam.
“Yaaa…”
Kemudian terjadi adegan cak cek dan cok antara ke dua sahabat itu. Sejenak, mereka menikmati hari terakhir bercanda di sekolah. Entah apa yang akan terjadi esok, ketika tak ada tawa dan duka yang telah terlewati selama tiga tahun belakangan ini. Huh… mungkin harus mengikuti arah takdir.
1 jam telah berlalu. Namun, kedua sahabat itu masih asik bersenda gurau. Mereka tersenyum bahagia, seolah tak menyimpan beban. Diam-diam Rani mengamati perubahan Sinta. Ia tersenyum lega, setidaknya Sinta dapat melupakan kegundahan hatinya, walaupun hanya sejenak.
Sama halnya dengan Sinta, sejujurnya Rani sangat gugup menanti pengumuman kelulusan beberapa jam lagi. Tapi, semua Ia serahkan kepada-Nya. Apapun itu.. setidaknya Rani dan Sinta serta teman-teman kelas tiga lainnya telah berusaha.
“Rani!” Sinta dan si empunya nama menoleh. Dilihatnya Anton tengah berjalan mendekati bangku mereka berdua.
“Ada apa?” Tanya Rani penasaran di sambut anggukan dari Sinta.
“Biasa… Kamu gak mau ikut?” Tanya Anton seraya menunjuk Rani.
“Kemana?” kening Rani mengerut.
“Ada apa sih?” Sinta ikut dalam percakapan mereka.
“Bukan.. Tapi.. Oh ayolah.. Kamu tidak lupa kan..” Sungut Anton kesal pada Rani. Rani memutar kedua bola matanya. Telunjuknya, ia ketuk-ketukan di dahinya. Setelah beberapa detik, Rani menjentikan jarinya.
“Yup.. Aku ingat sekarang..Sinta, jaga kelas baik-baik yah? Bye bye..”
“Tunggu sebentar… hehehe..” Tambah Anton kemudian menyusul Rani yang berjalan terlebih dahulu.
“Ada apa dengan mereka?” Kesal Sinta karna ditinggal sendirian di kelas ini. Kelas? Anyway, kenapa kelas begitu sepi? Entah karena apa, bulu kuduk Sinta berdiri. Sinta begidik ngeri, membayangkan hal-hal yang errr.. seperti di film-film horror yang pernah ia tonton. Ia menggeleng pelan. Hal seperti itu tak mungkin terjadi.
Sekilas, Sinta melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. “Satu jam lagi pengumuman..huh”
kedua matanya ia edarkan ke penjuru kelas. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Bagaimana keadaan kelas ini, jika Ia dan teman-teman yang lain telah pergi. Maksudnya.. pergi untuk mencari sebuah jati diri. Menentukan sebuah tujuan untuk masa depan yang lebih baik.
Sinta sendiri bercita-cita ingin menjadi seorang PhotoGrapher. Menurutnya, menjadi juru foto itu pekerjaan yang keren. Ia dapat mengetahui arti dari ekspresi seseorang atau bahkan mengetahui nilai ekstetika dari sebuah lukisan yang ada di alam.
Sebelumnya, Sinta telah menyusun rencana. Setelah lulus, ia akan melanjutkan ke Universitas Negeri Malang dan mengambil jurusan pemotretan. Ngomong-ngomong soal pemotretan. Sinta sangat ingin memotret idolanya. Idola? Tentu saja, Sinta sama seperti remaja lainnya. Mempunyai idola dan menjadikan idola tersebut sebagai motivasinya untuk belajar.
Semua telah terangkum sempurna. Dan apapun hasilnya…nanti, semoga tidak membuatnya semakin menambah beban dipikirannya.
“Hey!” Sinta terlonjat kaget mendengar suara yang tak asing lagi dipendengarannya. “Lagi lamunin apa sih?” Tanya Rani penasaran, kemudian duduk di sebelah Sinta.
Sinta menggeleng pelan, “Eh? Emang ada apa sih.. tadi?”
“RA to the HA to the SI to the A. RAHASIA.. hahaha” Rani kembali terbahak melihat raut wajah kesal sahabatnya.
“Temen macam apa kamu itu?” Rungut Sinta seperti anak TK.
“Oke.. nanti aku beritahu.. eh, tapi.. sekarang temen-temen lagi ngumpul di Aula..”
“Pengumuman?” Tanya Sinta takut-takut. Rani mengangguk pasti, “Ayo,,,”
*****
Sinta berdiri kaku tak jauh dari kerumunan siswa lainnya. Mereka sedang berebut, melihat sebuah kertas yang tertempel di madding sekolah. Termasuk Rani. Dalam kertas itu, Sinta yakin se yakinnya jika itu adalah pengumuman kelulusan.
Dengan teliti, Sinta mengawasi gerak-gerik teman-temannya. Sejauh ini, Sinta tak menemukan raut kesedihan. Namun, sebaliknya. Mereka tengah berpelukan, membagi kebahagiaan. Sorak sorak kelegaan tersirat di setiap tawa dan mata mereka. Walaupun ada yang menangis, tapi menangis karna terlalu bahagia. Melihatnya, Sinta ingin kesana. Namun…
Sinta melirik sahabatnya yang tengah tersenyum bahagia di sertai loncat-loncat kegirangan. Tak sengaja, tatapan mereka bertemu. Mendadak, suasana yang ramai menjadi sunyi senyap.
Sinta menatap bingung teman-temannya. Mereka sedang menatap satu sama lain kemudian menatap lirih Sinta.
Sinta menelan salivanya bulat-bulat. Kembali, Ia menatap sahabatnya penuh tanya. Namun, Rani hanya menunduk dalam. Tubuh Sinta bergetar. Benaknya bertanya-tanya apa maksud dari tatapan mereka? Jangan bilang…
TIDAK! Ini tidak mungkin. Sinta menggeleng pelan. Entah kenapa ia ingin menangis saat ini. Tapi, sekuat tenaga ia menahannya..
“Sinta.. Kamu baik?” Tanya Rina yang entah kenapa sudah berada di samping Sinta.
“Ran… Apa maksud dari tatapan mereka dan kamu juga, kenapa kalian menatapku seperti itu.. jangan bilang kalau aku…” Kalimatnya menggantung seiring keluarnya butir-butir cairan bening dari pelupuk matanya. Rani memeluk sahabatnya erat, berusaha menyalurkan sebuah kekuatan.
“Yang terpenting kamu sudah berusaha dengan keras..” bisik Rani pada Sinta. Tangannya mengelus punggung Sinta pelan.
“Tidak… ini tidak mungkin.. ya kan? Ini bohong kan? Aku tidak mungkin..” Racau Sinta tak percaya.
“Tenanglah..” Sinta semakin keras menangis. Tak memperdulikan dimana ia berada, yang jelas… perasaannya telah pecah berkeping-keping dan yang dibutuhkan saat ini adalah menangis. Walaupun Sinta tak melihat sendiri pengumuman tersebut. Tapi, tatapan dari teman-temannya seolah meyakinnya jika…dirinya.. tidak..
“Apa kamu gak mau melihat kertas itu?” Tanya Rani hati-hati, takut menyinggung perasaan sahabatnya itu.
Sinta menggeleng tegas, “Aku tidak mau lihat…” Ia berucap disela-sela isakkannya.
“Setidaknya.. kamu harus melihat..” Sekali lagi, Rani membujuk Sinta.
“Ayolah.. Hanya melihat dan aku akan menemanimu…” Rani tersenyum hangat setelah melepaskan pelukan sahabatnya.
*****
Kedua matanya menutup rapat. Seolah enggan untuk membuka. Tubuhnya bergetar. Sisa air matanya masih nampak jelas di kedua pipinya. Sinta meremas kuat tangan sahabatnya.
“Sekarang buka matamu..” Ucap Rani pelan yang langsung dijawab gelengan dari Sinta. Setelah berkali-kali membujuk, akhirnya Sinta mau menuruti kemauan Rani. Dalam hitungan ke-tiga, perlahan-lahan Sinta membuka kedua matanya.
Ia mengerjabkan matanya beberapa kali. Setelah penglihatannya tak begitu buram, ia mengikuti arah tunjuk Rani pada sebuah kertas dan….
“Selamat kamu lulus dengan nilai terbaik…”
Sinta terbengong tidak percaya. Kedua matanya masih lekat menatap kertas yang ada dihadapannya. Mencoba untuk menemukan kebenaran. Dan pernyataan Rani barusan.. adalah… benar. Jadi… Sinta Lulus? Dengan nilai terbaik?
“RANI!!!”
“Hahahahaha…” Teman-temannya tertawa terbahak melihat raut kesal Sinta saat meneriaki nama Rani. Sedangkan Rani? Ia telah berlari terbirit-birit, menghindari singa yang mengamuk.
******
Sinta tersenyum dalam lariannya—mengejar Rani. Walaupun Ia kesal, sangat kesal karna telah menjadi korban kejailan sahabatnya. Tapi, Ia tak menyangkal bahwa ia sangat bahagia sekarang.  Memang. Rani sangat jail di sekolah. Rani seorang perempuan, tapi kepribadiannya seperti laki-laki. Sangat jail.
Namun, berkat sahabatnya itu, Sinta menyadari suatu hal. Mungkin benar apa kata orang, jangan mudah percaya pada seseorang walaupun itu orang terdekat, tanpa melihat secara langsung. Dan Sinta sangat berterimakasih dengan itu.
Terimakasih sobat :)

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar